“Khairunnas anfauhum, sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang memberi manfaat bagi orang lain.”


Wednesday 23 January 2013

KIMIA, I LOVE YOU


KIMIA, I LOVE U
          Tak ada yang pernah benar-benar tahu bagaimana rasanya jauh dari sesuatu yang dicintai. Hanya mereka yang pernah mengalami dan konsisten dengan satu impian yang bisa merasakan. Selalu menyisakan tangis, bahkan saat kau berusaha tidak memikirkannya. Setiap jam, tidak, setiap hari dalam hidupmu, kau bertemu orang-orang yang akan menjadi calon ilmuwan masa depan, mendengar celoteh dan kelur kesah mereka akan dunia sains dengan segala kerumitan angka, bahasa latin dan istilah-stilah yang super banyak. Kau melihat bagaimana mereka sangat bersemangat ingin menghasilkan temuan-temuan masa depan, mendiskusikan berbagai jurnal internasional yang kau sendiri bingung apa isinya.
          Kau tahu, bagaimana rasanya itu? Ketika kau hanya melihat dan mendengar apa yang dulu menjadi duniamu, hanya Tuhan yang mengerti bagaimana rasanya. Seperti menjadi alien di planet milikmu sendiri. Memang benar, perasaan buruk seperti itu tak perlu ada jika tidak kubiarkan hinggap. Tetapi ada saat ketika kau tak bisa mengendalikannya dan itu mengalir begitu saja.

Monday 9 April 2012

Sahabat Rembulan

Putihku putihmu putih kita
Terangmu terangku terang kita
Kawah bulat bertitik misterius
Kilau memukau misterius

Hanya matahari sahabat rembulan
Sinar surya berpadu kesucian
Hanya matahari sahabat rembulan
Sajak purnama menjadi keindahan

Thursday 5 April 2012

Uselessness

Uselessness

Need about some years to realize
Need too much facts to believe
That I’m not the only one
That there’s no reason to give up

Always there’s a way
Just keep looking forward
Even if it seems difficult
Still there’s a way

How could I did it to my self?
How could I keep looking behind?
My future, my success, my families, my parents,
They are all waiting for me





Sunday 1 April 2012

Pesan Tersirat dari Tuhan


Pesan Tersirat dari Tuhan

Ombak dan badai yang bersahut-sahutan
Kilat dan petir yang saling berpadu
Goncangan bumi dan muntahan isi perutnya
Patahan lempeng dan tsunami yang dibawanya

Tahukah kau pesan tersirat dari Tuhan itu?

Idealisme yang luntur
Integritas yang punah
Kredibilitas yang dipertanyakan
Komitmen yang langka

Tahukah kau pesan tersirat dari Tuhan itu?

Fenomena alam yang mencengangkan
Fenomena kehidupan yang memiriskan
Fenomena dunia yang porak-poranda
Fenomena hati yang memprihatinkan

Tahukah kau pesan tersirat dari Tuhan itu?


Doctor Wanna Be


Doctor Wanna Be

Dad…
Have you known my reason?
White coat can cure all diseases
God send that for save the world

Dad…
Could you read my heart?
My heart hurts when you get sick
And I can do nothing for help

Dad…
Do you dream the same dream with me?
I wish I can be a doctor
I wish I can care and cure you
I wish Allah hears and makes true my dream



Saturday 31 March 2012

A Wish


A Wish
Dunia, lihat aku disini…
Aku yang bersama air mataku terus hanyut dalam harapan…
Hari-hari cerah untuk jiwa yang hampa…
Jiwa rapuh yang terbungkus raga baja…
Hidupku mengalir lebih deras dari air terjun Niagara…
Rodanya berputar lebih cepat dari jet sekalipun…
Tak tahu kapan wish mulia itu terkabulkan…
Tuhan, tolong jangan lelah dengar pintaku…
            Aiza lupa puisi berjudul wish itu adalah puisi keberapa yang ditulisnya malam ini. Beginilah aktivitas seorang Aiza saat hatinya sedang tak karuan. Entah apa yang sedang mengganggu benaknya malam itu. Dengan penerangan seadanya yang berasal dari lampu berkekuatan lima watt, tak sama sekali membuatnya merasa tidak nyaman. Bagaimana tidak, lampu lima watt itu adalah sahabat terbaiknya yang berjasa besar dalam mahakarya sastra yang diproduksinya.
            “Dek, makan dulu sana. Nanti kamu sakit loh,  dari tadi nulis aja. Masih ada sisa tempe goreng tadi siang, makan gih,” bujuk Ariz setengah memaksa. Merasa tidak mendapat tanggapan, dengan gerakan cepat ia mengangkat dan menggendong paksa Aiza menuju ruang makan sederhana mereka. Aiza hanya bisa berteriak-teriak dan memberontak minta diturunkan. Beginilah kehidupan kakak beradik dari keluarga sederhana ini.
            Walaupun terus dicoba, mata Aiza tidak kunjung tertutup, padahal waktu sudah menunjukan setengah satu pagi. Peristiwa siang tadi begitu membekas dibenaknya hingga menjadi buah pikirannya. Kamar persegi panjang berukuran 2x3 meter bujursangkar dengan dinding bambu itu menjadi tempat ia berkeluhkesah, mencurahkan seluruh hasratnya,  tempat dimana ia kadang tersenyum-senyum lama sendiri, menangis haru membayangkan suatu saat yang indah, saat secret wishnya terkabul.
            Fattah, teman sekelas Aiza siang tadi dengan berat hati harus meninggalkan sekolah. Ia menyampaikan pengunduran dirinya dari SMA Monondok karena alasan klasik tapi mengharukan. Adiknya sakit keras, ibunya hanya berpenghasilan sebagai buruh cuci, sementara ayahnya pergi entah kemana sejak sebulan lalu tanpa kabar berita sama sekali. Oleh karena itu dengan sangat terpaksa Fattah harus mengambil keputusan itu, keputusan yang menentukan masa depannya. Aiza terus memandang Fattah hingga bayangannya hilang di ujung jalan, dilihatnya Fattah berhenti sejenak memandang hikmat sekolah itu, kemudian menunduk dan dengan langkah berat berjalan pulang ke peraduannya, memikirkan bagaimana ia nantinya.
            “Ini benar-benar tidak adil,” ujar Aiza pada dirinya sendiri. “Seharusnya Tuhan mengerti dengan keadaannya, seharusnya Tuhan tahu betapa berartinya sekolah bagi Fattah, seharusnya ini tidak perlu terjadi,” keluhnya setengah berteriak. Air matanya jatuh berderai, Fattah teman terbaiknya, teman seperjuangannya. Mereka sama-sama berasal dari keluarga sederhana, setiap hari berbagi suka duka di sekolah, berdiskusi masalah pelajaran, bermain bersama, rasanya hambar tanpa kehadiran Fattah lagi. Aiza tidak yakin ia bisa sebahagia dulu, setiap memasuki gerbang SMA Monondok ada rasa yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata, rasa yang membuat semangatnya membuncah untuk menuntut ilmu ketika melihat teman-teman sesama pelajar di sekolah itu hilir mudik menuju kelas masing-masing dengan seragam kebanggaan mereka, putih abu-abu kumal yang kadang terpaksa digunakan selama tiga tahun penuh karena keadaan ekonomi yang tidak memungkinkan.
            Malam itu pikiran Aiza bercabang-cabang. Belum tuntas memikirkan sahabatnya yang malang, hal lain melintas di benaknya. Aiza merenungi kehidupannya yang boleh dikatakan cukup mapan walaupun sangat sederhana. Tetapi setidaknya ia masih bisa merasakan indahnya duduk di bangku sekolah. Syukur nikmat, itu pasti. Karena semua berkah itu tak akan pernah singgah di kehidupannya tanpa campur tangan Allah subhana wata’ala. Ketika tatapannya menerawang jauh, tak jelas apa yang sebenarnya ingin dilihat, sekilas ia tanpa sengaja memandang foto ibunya ketika sedang memanen padi di pigura tua penuh sejarah yang terpajang berhadapan ranjang tidurnya. Senyum ibunya merekah,  Aiza dapat merasakan perasaan ibunya saat itu. Musim panen adalah waktu yang selalu dinantikan para petani, apalagi ketika kerja keras mereka berbuah keberhasilan. Sejauh mata memandang, sawah telihat bagaikan hamparan lautan emas, kuning-kuning biji padi bergoyang lembut tersapu angin sepoi-sepoi. Di sana-sini para petani dengan giatnya menyabit batang padi, keringat yang meleleh bukanlah hal yang berarti.
            Melihat foto itu, membuat sel saraf dendrit terdorong menyampaikan impuls dari indera penglihatan ke neuron untuk dilanjutkan ke otak oleh akson, dan menghasilkan respon haru dalam hati Aiza. Ayah dan Ibunya telah mengorbankan banyak hal untuknya. Ia menyesal karena kadang mengabaikan kenyataan itu, kenyataan bahwa setiap tetes keringat orangtuanya adalah setiap hembus nafasnya, nafas yang menyambung hidupnya hingga hari ini bahkan detik ini, saat penyesalan mendalam itu menderanya. Tak seharusnya ia membanding-bandingkan kehidupannya yang kadang kekurangan dengan orang lain yang lebih mapan hidupnya. Padahal banyak sekali orang di luar sana yang untuk makan pun tak mampu. Astaghfirullahaladhim, ya Allah.
            Tanggul pertahanan matanya tak kuat lagi menampung banjir air mata yang siap meluap. Dan akhirnya pertahanan itu jebol oleh tekanan batin yang mahadahsyat. “Aku harus bisa membahagaikan orangtuaku, keluargaku,” ucapnya lirih. Kemudian dengan syahdu, Aiza membuat sebuah wish yang hanya Allah dan dia yang tahu. Wish mulia yang tak tahu kapan akan terwujud. Ia hanya berharap suatu saat wish itu menjadi kenyataan.

Bersambung…