A
Wish
Dunia, lihat aku disini…
Aku yang bersama air mataku terus
hanyut dalam harapan…
Hari-hari cerah untuk jiwa yang hampa…
Jiwa rapuh yang terbungkus raga
baja…
Hidupku mengalir lebih deras dari
air terjun Niagara…
Rodanya berputar lebih cepat dari
jet sekalipun…
Tak tahu kapan wish mulia itu
terkabulkan…
Tuhan, tolong jangan lelah dengar
pintaku…
Aiza
lupa puisi berjudul wish itu adalah
puisi keberapa yang ditulisnya malam ini. Beginilah aktivitas seorang Aiza saat
hatinya sedang tak karuan. Entah apa yang sedang mengganggu benaknya malam itu.
Dengan penerangan seadanya yang berasal dari lampu berkekuatan lima watt, tak
sama sekali membuatnya merasa tidak nyaman. Bagaimana tidak, lampu lima watt
itu adalah sahabat terbaiknya yang berjasa besar dalam mahakarya sastra yang
diproduksinya.
“Dek,
makan dulu sana. Nanti kamu sakit loh,
dari tadi nulis aja. Masih ada sisa tempe goreng tadi siang, makan gih,”
bujuk Ariz setengah memaksa. Merasa tidak mendapat tanggapan, dengan gerakan
cepat ia mengangkat dan menggendong paksa Aiza menuju ruang makan sederhana
mereka. Aiza hanya bisa berteriak-teriak dan memberontak minta diturunkan.
Beginilah kehidupan kakak beradik dari keluarga sederhana ini.
Walaupun
terus dicoba, mata Aiza tidak kunjung tertutup, padahal waktu sudah menunjukan
setengah satu pagi. Peristiwa siang tadi begitu membekas dibenaknya hingga
menjadi buah pikirannya. Kamar persegi panjang berukuran 2x3 meter bujursangkar
dengan dinding bambu itu menjadi tempat ia berkeluhkesah, mencurahkan seluruh
hasratnya, tempat dimana ia kadang
tersenyum-senyum lama sendiri, menangis haru membayangkan suatu saat yang
indah, saat secret wishnya terkabul.
Fattah,
teman sekelas Aiza siang tadi dengan berat hati harus meninggalkan sekolah. Ia
menyampaikan pengunduran dirinya dari SMA Monondok karena alasan klasik tapi
mengharukan. Adiknya sakit keras, ibunya hanya berpenghasilan sebagai buruh
cuci, sementara ayahnya pergi entah kemana sejak sebulan lalu tanpa kabar
berita sama sekali. Oleh karena itu dengan sangat terpaksa Fattah harus
mengambil keputusan itu, keputusan yang menentukan masa depannya. Aiza terus
memandang Fattah hingga bayangannya hilang di ujung jalan, dilihatnya Fattah
berhenti sejenak memandang hikmat sekolah itu, kemudian menunduk dan dengan langkah
berat berjalan pulang ke peraduannya, memikirkan bagaimana ia nantinya.
“Ini
benar-benar tidak adil,” ujar Aiza pada dirinya sendiri. “Seharusnya Tuhan
mengerti dengan keadaannya, seharusnya Tuhan tahu betapa berartinya sekolah
bagi Fattah, seharusnya ini tidak perlu terjadi,” keluhnya setengah berteriak.
Air matanya jatuh berderai, Fattah teman terbaiknya, teman seperjuangannya.
Mereka sama-sama berasal dari keluarga sederhana, setiap hari berbagi suka duka
di sekolah, berdiskusi masalah pelajaran, bermain bersama, rasanya hambar tanpa
kehadiran Fattah lagi. Aiza tidak yakin ia bisa sebahagia dulu, setiap memasuki
gerbang SMA Monondok ada rasa yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata, rasa
yang membuat semangatnya membuncah untuk menuntut ilmu ketika melihat
teman-teman sesama pelajar di sekolah itu hilir mudik menuju kelas
masing-masing dengan seragam kebanggaan mereka, putih abu-abu kumal yang kadang
terpaksa digunakan selama tiga tahun penuh karena keadaan ekonomi yang tidak
memungkinkan.
Malam
itu pikiran Aiza bercabang-cabang. Belum tuntas memikirkan sahabatnya yang
malang, hal lain melintas di benaknya. Aiza merenungi kehidupannya yang boleh
dikatakan cukup mapan walaupun sangat sederhana. Tetapi setidaknya ia masih
bisa merasakan indahnya duduk di bangku sekolah. Syukur nikmat, itu pasti.
Karena semua berkah itu tak akan pernah singgah di kehidupannya tanpa campur
tangan Allah subhana wata’ala. Ketika tatapannya menerawang jauh, tak jelas apa
yang sebenarnya ingin dilihat, sekilas ia tanpa sengaja memandang foto ibunya
ketika sedang memanen padi di pigura tua penuh sejarah yang terpajang
berhadapan ranjang tidurnya. Senyum ibunya merekah, Aiza dapat merasakan perasaan ibunya saat itu.
Musim panen adalah waktu yang selalu dinantikan para petani, apalagi ketika
kerja keras mereka berbuah keberhasilan. Sejauh mata memandang, sawah telihat
bagaikan hamparan lautan emas, kuning-kuning biji padi bergoyang lembut tersapu
angin sepoi-sepoi. Di sana-sini para petani dengan giatnya menyabit batang padi,
keringat yang meleleh bukanlah hal yang berarti.
Melihat
foto itu, membuat sel saraf dendrit terdorong menyampaikan impuls dari indera
penglihatan ke neuron untuk dilanjutkan ke otak oleh akson, dan menghasilkan
respon haru dalam hati Aiza. Ayah dan Ibunya telah mengorbankan banyak hal
untuknya. Ia menyesal karena kadang mengabaikan kenyataan itu, kenyataan bahwa
setiap tetes keringat orangtuanya adalah setiap hembus nafasnya, nafas yang
menyambung hidupnya hingga hari ini bahkan detik ini, saat penyesalan mendalam
itu menderanya. Tak seharusnya ia membanding-bandingkan kehidupannya yang
kadang kekurangan dengan orang lain yang lebih mapan hidupnya. Padahal banyak
sekali orang di luar sana yang untuk makan pun tak mampu.
Astaghfirullahaladhim, ya Allah.
Tanggul
pertahanan matanya tak kuat lagi menampung banjir air mata yang siap meluap.
Dan akhirnya pertahanan itu jebol oleh tekanan batin yang mahadahsyat. “Aku
harus bisa membahagaikan orangtuaku, keluargaku,” ucapnya lirih. Kemudian
dengan syahdu, Aiza membuat sebuah wish yang hanya Allah dan dia yang tahu.
Wish mulia yang tak tahu kapan akan terwujud. Ia hanya berharap suatu saat wish
itu menjadi kenyataan.
Bersambung…